“Mas,
tolong embernya”
“Panci
besarnya juga …”
“Bawain
kain pel sekalian Mas…” teriak istriku dari ruang tengah.
Hujan di tengah malam ini membuat kami jadi kalang kabut,
pas enak-enak tidur, eh ternyata bocor di mana-mana, yang paling menjengkelkan
bocornya tepat di atas tempat tidur, kasur pada basah semua, jadinya tidur pun
terasa nggak nyaman. Yah beginilah keadaan kontrakan kami, rumah sederhana yang
baru kami kontrak. Keadaannya cukup memprihatinkan juga sebenarnya. Tapi apa
daya, hanya ini yang bisa kuusahakan, gajiku sebagai pekerja serabutan
membuatku untuk hidup sehemat mungkin.
Selama empat bulan pernikahan kami, Alhamdulillah telah
membuatku benar-benar merasakan kebahagiaan. Aku benar-benar terprovokasi oleh
buku “Kupinang Engkau dengan Hamdallah” buku pertama dari trilogi karya Ustad
Fauzil Adhim yang direferensikan temenku. Pokoknya setelah baca buku itu,
rasanya pengen banget nikah, abis isinya tentang indahnya pernikahan, bayangin
aja, bercumbu, bermesraan kayak meremas tangan istri adalah berpahala,
merontokkan dosa-dosa, gimana nggak kepengin, dan banyak hal lainnya, padahal
waktu itu bisa dikatakan aku masih belum siap lahir batin, harta cuma
sekedarnya, kesiapan batin juga perlu dipertanyakan, pokoknya aku ingin nikah
secepatnya, menyempurnakan agama, mencari teman sejati buat menemani perjuangan
suci, cieeee. (Brothers banget!)
Alhamdulillah doaku terkabul, Istriku Annisa adalah istri yang baik, kesederhanaanya, kesabarannya membuatku kagum, dia mau menerima keadaan yang serba pas-pasan ini. Namun yang paling penting adalah kesholehannya. Ibadahnya benar-benar perlu aku kasih jempol, beruntung aku bisa mendapatkannya padahal aku masih tergolong awam terhadap agama. Istriku telah membimbingku untuk lebih dekat kepadaNya, menuntunku dij alan petunjukNya, menghiburku dikala sedang susah. Pokoknya dia tuh istri pilihan yang telah mengeluarkanku dari kegelapan kepada cahaya, minazh zhulumaati ilannuur, jarang ada akhwat seperti Annisa.
“He he he, lucu yah Nisa kalo lagi bingung, apalagi pas
teriak-teriak tadi, lihat aja muka Nisa jadi merah, tapi tambah manis kok”
candaku padanya.
“Yeeee, emangnya gula, manis, nih kain pelnya, taruh di
belakang aja”
“Otree bos”
Tak berapa lama, akupun kembali keruang tengah menemui
istriku. Tampak istriku yang duduk kelelahan di karpet, tampaknya hawa dingin
dari hujan ini membuatnya menggigil kedinginan.
“Dingin yah, sini biar Mas dekap” kemudian ditenggelamkan
kepalanya ke dadaku, kudekap erat-erat untuk mengusir hawa dingin yang
menyelimuti.
“Badan Nisa panas, demam yah ” kutempelkan tanganku ke
keningnya, tubuhnya terasa panas.
“Nggak kok Mas, cuma capek aja, ngantuk lagi”
“Bener nggak apa apa, Mas cariin obat yah”
“Nggak usah Mas, malam-malam kayak gini mana ada toko yang
buka, apalagi hujan, entar Mas sendiri yang sakit”
“Ya udah kalo gitu”
Sesaat keadaan jadi hening, aku jadi kasian sama istriku,
dia tentu belum biasa hidup seperti ini, yang selalu dibayangi dengan himpitan
ekonomi, fasilitas rumah tangga yang sederhana, makanan seadanya, bener-bener
perjuangan.
“Maafin Mas Iwan ya, Nisa jadi menderita kayak gini”
“Mas Iwan ini gimana sih, dibilangan nggak usah ngomongin
itu lagi kok, rezeki itu Allah yang ngatur, kita yang berusaha mencari secara
halal dan baik, percayalah Allah Maha Adil” istriku menasihatiku sambil memukul
dadaku karena omonganku
“Alhamdulillah kalo Nisa mau nerima, ya moga-moga Allah
memberikan kesabaran, dan melapangkan rizki pada kita”
“Amiin… eh ngomong-ngomong bau keringat Mas Iwan, ampun
deh, bener-bener harum, bikin nyamuk nggak ada yang mau ndekat” candanya
membuatku sedikit lebih tenang, dan dipeluknya aku makin erat, hatiku merasa
tentram.
“Tapi janji ya, mau benerin atapnya, masak tiap kali hujan
harus kayak gini, kan
repot” timpal istriku lagi.
“Insya Allah deh, asal Nisa mau bantuin benerinnya… ”
pintaku bergurau
“Yeeee, itu kan
kerjaannya laki-laki, tapi jangan kuatir deh, entar Nisa bantu dengan doa aja
ya … he he he”
Hujan deras ini telah membuat listrik padam, keadaan
menjadi gelap gulita, hanya sesekali terang jika ada kilat. Kurasakan istriku
sudah mulai tertidur, tidur dalam dekapanku, dekapan erat yang tak ingin
kulepaskan, aku sangat sayang padanya. Tidurlah yang nyenyak kau dipelukanku,
aku tak akan mengijinkan nyamuk-nyamuk nakal mengganggu kenyamanan tidurmu,
biarkan aku menjagamu, biarlah aku kan
menjadi selimut kehangatan bagimu.
“Assalamu’alaikum, Niis, ada tamu?” salamku saat pulang
kerumah dengan membawa seseorang.
“Wa’alaikum salam” salamnya, sambil keluar menyambutku.
“Mb.. Mbak Ani” kata istriku dengan terkejut, tampak
perubahan muka yang disembunyikan, diulurkannya tangannya pada Ani.
“Assalamu’alakum Dek Nisa, lama yah nggak ketemu” salamnya
dengan senyum yang ramah.
“Wa’alaikum salam, iya udah setengah tahunan kayaknya, wah
Mbak tambah cakep aja, mari Mbak masuk”
Ani,
kakak kelas Nisa juga teman seangkatan denganku semasa kuliah, sekaligus teman
SMA di kampung halaman, kami sangat akrab sekali, bahkan sempat sangat dekat,
lebih dari sekedar teman, maklumlah saat itu aku masih belum begitu mengenal
islam, masih awam, jadi masih merasa nggak bersalah kalo orang nyebut pacaran.
Karena satu dan lain hal, akhirnya kami harus berpisah, harus saling menjaga
jarak walau sebenarnya berat rasanya, sulit untuk melupakannya (nggak perlu
dicritain ya), namun sejak perpisahannya itu justru telah membuatku dekat
dengan dienul islam yang akhirnya mempertemukanku dengan Annisa.
Kedatangannya ke kota
ini adalah menjenguk saudaranya yang dirawat di rumah sakit dekat tempat
kerjaku, dan secara tak sengaja kami pun bertemu, ya kuajak aja mampir sejenak,
walau sebenarnya ada yang mengganjal di hati, entahlah, aku seakan-akan lalai,
nggak tahulah apa yang sedang terjadi padaku yang pada akhirnya kubawa Ani
kerumahku. Aku tak bisa menipu diriku bahwa aku suka bertemu dengannya, seperti
membuka kenangan yang lalu.
“Kapan datangnya Mbak?”
“Kemaren, sama keluarga kok, mau njenguk paman yang sakit”
“Innalillahi wa inna ilaihi roji’un, sekarang gimana
keadaannya”
“Alhamdulillah, udah baikan, insya Allah dua tiga hari udah
bisa pulang”
“Syukurlah kalo gitu, udah kerja ya Mbak, kayaknya sukses”
“Alhamdulillah, sudah, cukuplah untuk kebutuhan hidup,
mandiri kata orang”
“Wah senang ya.. terus udah punya …. ?”
Ani hanya tersenyum saja mendengar pertanyaan tersebut. Aku
jadi nggak enak sendiri di sana, perasaan gelisah yang menyelimuti hati, aku
merasa bersalah mengajaknya ke sini, tapi semua sudah terlanjur, tidak lama dia
mampir di rumahku, namun walau singkat sepertinya telah merubah suasana hati
keluargaku.
Seminggu kemudian …
Selama beberapa hari terakhir ini, istriku terlihat
berbeda, dia menjadi jarang bercanda, lebih banyak diam dan tidak sehangat
dulu, mungkin kecemburuannya pada Ani merasuki hatinya, memang beberapa hari
terakhir ini, aku sering bertemu dengan Ani di rumah sakit yang memang dekat
dengan tempat kerjaku. Perasaan inilah yang saat ini memisahkan kemesraan di
antara kami, aku juga merasa bahwa aku jarang memulai bercanda, aku sering
melupakannya.
Hari ini adalah hari beratku, aku baru saja di PHK dari
kantorku, keadaan ekonomi yang lesu membuat kantorku harus merampingkan
karyawannya. Kuputuskan untuk tidak pulang dulu, aku ingin mencari kerjaan
seadanya, keadaanku ekonomi rumah tanggaku sudah cukup memprihatinkan, aku
tidak bisa mengandalkan pesangon yang diberikan, aku harus mendapat kerja.
“Ya Allah berilah aku kemudahan dan kesabaran ya Allah”
doaku sambil berusaha mencari kerja. Entahlah sudah berapa banyak kantor yang
kumasuki untuk mencari lowongan, hingga matahari bersembunyi di ufuk barat.
“Aku tidak pernah pulang selarut ini, istriku pasti cemas”
“Assalamu’alaikum, Nis,
mas pulang nih” salamku dengan senyum mengambang. Aku ingin tampil bahagia di
depan istriku. Aku ingin menyembunyikan kegalauan hatiku.
“Wa’alaikum salam” jawabnya dari dalam, namun dia tidak
menyambutku, tidak seperti biasanya.
Kulihat wajahnya yang ditekuk, muram, wah marah nih. Sesaat
kemudian setelah membersihkan diri, rasanya sudah tak tahan menahan lapar yang
sejak tadi belum makan.
“Wah mas lapar nih, udah makan Nis?” tanyaku padanya, mencoba untuk mengajak
makan bersama
“Udah” jawabnya singkat dan ketus
“eeehhmmm, baunya sedap, masak apa ya” kuhampiri meja
makan,
Saat kubuka penutup makanan, betapa terkejutnya aku, hanya
ada nasi doang, nggak ada sayur, lauk pauk, itupun nasi tadi pagi yang
dihangatkan. Entahlah perasaan jengkel melanda diriku, namun aku berusaha untuk
mengendalikan diri. Kuambil nasi yang udah mulai dingin tersebut, kukasih garam
dan kecap. Yah walau hambar rasanya, tetap aja kumakan.
“Sekarang Mas Iwan udah berubah”
“Sudah mulai melupakan istri, sudah mulai pulang malam”
“Mas sudah tak menyayangi Nisa lagi”
“Mas ingkar janji, hiks hiks”
Sindiran istriku yang berada dalam ruang tengah, walau
pelan tapi terdengar jelas. Aku hampir saja tidak bisa menahan amarahku, gimana
tidak, aku baru di-PHK, pulang dengan rasa capek dan lapar, tapi setelah pulang
disambut dengan seperti ini. Dada terasa meledak-ledak, wajahku terasa merah
padam. Kuselesaikan makanku, kuhampiri istriku dengan agak marah, emosiku
meluap-luap, kupandang dia dengan tajam.
“Ngomong apa sih Nis…”
“Bukannya menyambut suami, malah ngomel-ngomel, aku kan capek” ucapku tak
bisa menahan emosi.
Wajahnya semakin ditekuk, matanya dipincingkan untuk
menahan air matanya. Dia pergi menuju kamar dan menutup kepalanya dengan
bantal, menyembunyikan suara isak tangisnya.
“Astagfirullah” ucapku berkali-kali sambil menahan gejolak
amarahku.
Kuambil air wudlu, kutenangkan pikiranku, dan selalu
berdzikir kepadaNya. Bahtera rumah tanggaku mulai menghadapi badai, suatu
keadaan yang aku takutkan, aku tidak pernah merasakan begini perasaanku,
perasaan yang sangat tidak mengenakkan, perasaan yang telah merenggut
kebahagian pernikahanku selama ini, perasaan yang membuat hati menjadi gelisah.
Biarlah untuk sementara kubiarkan istriku tidur dikamarnya sendiri, biar dia
menenangkan diri dulu, aku harus menyelesaikan permasalahan ini secepatnya biar
tidak berlarut-larut, jangan sampai bahteraku pecah gara-gara masalah ini.
Di dua pertiga malamnya, kubangunkan istriku, kuajak untuk
berjamaah sholat lail, sudah beberapa hari terakhir ini aku tidak melakukan
bersamanya. Kulihat wajahnya udah mulai tenang walau masih muram, masih
pendiam, hatinya masih kesal terhadapku.
“…Ya Allah, kokohkanlah bahtera hidup rumah tangga kami,
segera selesaikanlah badai yang melanda keluarga kami, berilah kami kesabaran
dalam menghadapi cobaanMu, dan tetapkanlah kami kedalam jalan yang Engkau
ridhai ya Allah ….”
Penggalan doaku setelah selesai solat malam, Tak terasa air
mataku meleleh, berdoa mengharap belas kasihNya, memohon Rahmat dan
petunjukNya.
Suasananya begitu tenang, begitu sejuk dan begitu…….
Kulihat istriku, kupandangi dengan lembut, bulir-bulir air matanya telah
membasahi pipi dan jatuh di mukena putihnya. Akhirnya kupeluk istriku dengan
lembut, kudekap erat-erat, kukecup keningnya, aku ingin merasakan kebahagiaan
seperti sebelumnya, aku ingin menyelesaikan masalah ini sekarang.
“Maafin Mas yah, Mas telah menyakiti Nisa, jangan marah
lagi yah” ucapku padanya, dia pun menundukkan kepalanya.
“Eh marahnya udah selesai belum, kalo belum entar Mas cubit
hidung Nisa lho” candaku padanya sambil mencubit hidungnya.
“Masih marah, mau nggak dimasakkin lagi nanti” jawabnya
namun dengan nada datar.
“Biarin, entar Mas beli di warung, Nisa nggak Mas kasih
sedikit pun” godaku padanya.
“Gimana, masih marah yah, mana pipi Nisa, biar mas cubit,
biar merah merona, kayak aisyah ummul mukminin istri Rasulullah, humaira, si
merah delima” godaku lagi.
Tersungging senyumnya di balik bibirnya, sungguh tenteram
hati ini melihat istriku sudah mau tersenyum lagi, wajahnya sudah mulai
berseri-seri lagi.
“Tahu nggak, di dunia ini Nisa adalah akhwat yang paling
Mas kasihi setelah ibu, yang paling Mas cintai lho”
“Cieeee, ngrayu nih ceritanya” ledek istriku dengan
tersenyum.
“Udah tahu nanya, tapi seneng kan dirayu, atau Mas jelek-jelekin aja…”
“Jahaat… masa’ sama istri sendiri dijelek-jelekkin”
Setelah keadaan menjadi tenang, kujelaskan permasalahanku,
kuceritakan tentang kepulanganku yang telat, kujelaskan hubunganku dengan Ani
dan berkomitmen terhadap janji pernikahan kami. Dia pun juga minta maaf,
diceritakannya juga bahwa saat ini uang belanjanya udah habis, makanya nggak
heran kalo tadi malam hidangannya seperti itu. Syukurlah segala kesalahpahaman
yang terjadi selesai pagi itu, justru kami semakin dekat, semakin akrab.
Alhamdulillah, badai yang melanda bahtera pernikahanku telah berlalu,
kebahagian kembali mengalir mengisi hari-hariku.
Beberapa minggu kemudian…
“Nyam-nyam enaq, masakannya bener-bener enak, nyuri resep
dari mana nih, perasaan nggak pernah masak kayak gini” ucapku sambil merasakan
lezatnya masakan istriku
“He he he, enak aja nyuri, ini resep rahasia keluarga, buat
acara spesial”
“Emang sekarang spesial ?”
“Yup”
“Spesial apa ya? Ultah nggak, apa sukuran Mas keterima
kerja yang lebih baik ya? Tapi kan
itu udah beberapa minggu lalu”
“Mungkin, tapi ada yang lebih spesial” wajah istriku
berseri-seri, kayaknya bahagia sekali.
“Udah deh nyerah, apa sih” tanyaku penasaran.
Disodorkannya padaku sebuah surat.
“Hk, alhamdulillah, Nisa hamil, alhamdulillah, aku jadi
abi, Nisa jadi ummi, ummi” hampir saja aku tersedak makanan di mulutku ini
mendapat kabar ini. Aku akan menjadi abi. Aku melonjak kegirangan seakan
melupakan makananku, entah perasaan apa yang melandaku, sulit aku gambarkan
kebahagian ini, kabar terindah yang kudengar, sujud syukur padaMu ilahi, aku segera
menghampiri istriku.
“Mi, ummi, boleh abi dengerin perut ummi, udah terasa belum
jundi kecil abi ini”
“Yeeee abi ini, kan
baru 4 bulan bi, ya masih belum kelihatan dong”
“Biarin, abi pengin dengar pokoknya, tuh kan mi, jundi kecil kita lagi bertasbih
sekarang, dengerin aja” kutempelken telingaku ke perut istriku seperti ingin
mendengarkan sesuatu.
“Bi, bersyukurlah pada Allah bi, bersyukurlah,
alhamdulillah”
“Ya Mi, alhamdulillah, semoga nanti anak kita menjadi anak
yang sholeh dan berbakti pada orang tua”
“Nah sekarang ummi nggak boleh capek-capek, nggak boleh …..
” wah sifat cerewetku mulai timbul, entah apa saja yang telah aku katakan,
sementara istriku hanya senyum-senyum saja mendengarnya.
“Emangnya ummi ini anak kecil, Abi terlalu berlebihan”
“Wajar dong mi, inikan anak pertama kita”
Malam itupun bertabur kebahagian, pikirankupun
bermacam-macam, membayangkan anakku nanti, laki-laki atau perempuan, terus apa
yang harus aku lakukan, pokoknya macam-macam deh, sulit melukiskannya.
Saat itu pun datang, istriku akan melahirkan, dari hasil
USG sih mengatakan kalo bayinya nanti akan kembar, satu perempuan satu
laki-laki. Bingung, cemas menjadi satu ketika istriku sudah bukaan dua (katanya
sih, aku sendiri nggak begitu tahu) padahal masih belum di rumah sakit,
syukurlah ada tetangga yang mau mengantarkan ke rumah sakit bersalin,
kontraksinya pun mulai terasa tiap lima
sampai sepuluh menitan, tanda-tanda kelahiran akan tiba.
“Pak, mau menemani istrinya nggak, tega nggak” tanya suster
pengin rasanya menemani istriku, tapi rasanya aku justru
akan mengganggu suster-suster tersebut.
“Nggak usah saja, saya nggak tega, nanti jadi ganggu”
Perasaan tegang menuyelimutiku, aku hanya bisa mondar
mandir di depan pintu kamar bersalinnya
“.. ya Allah, berilah kami kekuatan ya Alloh, Selamatkanlah
istri dan anakku ya Alloh…”
Lahir juga anakku, anak kembar laki-laki dan perempuan,
alhamdulillah semua sehat-sehat saja istriku tampak lelah setelah melahirkan,
tapi ada kebahagiaan yang terpancar diwajahnya.
“Wah tampan dan cantik anaknya”
“Beratnya 3.6 kg dengan panjang 55 cm, lihat gagahnya anak
itu” hibur suster yang membantu melahirkan.
Berdasarkan kesepakatanku dengan istriku, yang laki-laki
kuberi nama Sholahuddin al Ayubi yang kuambil dari tokoh panglima perang saat
perang salib, semoga dia menjadi tentara Allah dalam menegakkan Islam. Yang
perempuan sama istriku dikasih nama Fatimah az Zahra, mengambil dari nama putri
kesayangan rasulullah, si bunga mawar yang indah dipandang, tetapi berduri jika
dipegang.
Itulah kebahagian yang kudapatkan, semua baik-baik saja,
istriku, anak-anakku, hanya kepada Allah segala puji-pujian.
THE END
Ditulis oleh bibilung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar